DISTRIBUSI BAGI HASIL DAN PRINSIP-PRINSIP BAGI HASIL
Salah satu perbedaan yang mendasar
antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah adalah pembayaran imbalan kepada
pemilik dana (investor). Dalam Bank Konvensional memberikan imbalan dalam bentuk
bunga yang besarnya telah ditetapkan didepan saat akad, sedangkan dalam Bank
Syariah imbalan yang diberikan kepada investor didasarkan hasil usaha yang
diterima. Jadi dalam Bank syariah sebagian pendapatan merupakan hak pemilik
dana (investor).
Perhitungan pembagian hasil usaha
antara shahibul maal (pemilik dana) dengan mudharib (pengelola dana), atas
hasil usaha yang diperoleh dengan akad mudharabah. Perhitungan selalu dilakukan
mudharib, karena dalam prinsip mudharabah mutlaqah dijelaskan pekerjaan
sepenuhnya haknya pengelola (mudharib), karena pekerjaan sepenuhnya hak
pengelola maka pengelola yang mengetahui hasil usahanya, sehingga pengelola
pula yang melakukan perhitungan pembagian hasil usaha. Oleh karena itu siapapun
yang kedudukannya sebagai pengelola dana, baik bank syariah maupun nasabah
debitur, hendaknya dapat meneladani sifat rasul, khususnya amanah, jujur dan transparan.
Ketentuan yang terkait dengan
perhitungan pembagian hasil usaha adalah ketentuan tentang prinsip distribusi
hasil usaha dan sistem distribusi hasil usaha
A.
Sistem Distribusi Hasil Usaha
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
14/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga Keuangan
Syariah
1. Pada prinsipnya, LKS boleh menggunakan
sistem Accrual Basis maupun
Cash Basis dalam administrasi keuangan.
2.
Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), dalam pencatatan sebaiknya digunakan sistem Accrual Basis; akan
tetapi, dalam distribusi hasil usaha
hendaknya ditentukan atas dasar penerimaan yang benar-benar terjadi (Cash Basis).
3.
Penetapan sistem yang dipilih harus disepakati dalam akad.
B.
Prinsip Distribusi Hasil Usaha
Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
15/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga
Keuangan Syariah dengan pertimbangan, bahwa pembagian hasil usaha di antara
para pihak (mitra) dalam suatu bentuk usaha kerjasama boleh didasarkan pada :
·
prinsip Bagi Untung (Profit Sharing), yakni bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi
modal dan biaya-biaya.
·
Prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing), yakni bagi hasil yang dihitung dari
pendapatan setelah dikurangi modal dan
masing-masing memiliki kelebihan
dan kekurangan;
Dalam fatwa tersebut ditetapkan
sebagai berikut:
1.
Pada dasarnya, LKS boleh menggunakan prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing) maupun Bagi Untung (Profit
Sharing) dalam pembagian hasil usaha
dengan mitra (nasabah)-nya.
2.
Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), saat ini, pembagian
hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip Bagi Hasil
(Net Revenue Sharing).
3.
Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad.
Dalam perhitungan pembagian hasil
usaha bank syariah dilakukan dengan beberapa tahapan proses yaitu:
A. Menentukan
prinsip bagi hasil yang dipergunakan
Ketentuan Fatwa Dewan Syariah
Nasional menjelaskan bahwa pembagian hasil usaha bank syariah dapat
mempergunakan Revenue Sharing maupun Profit Sharing. Saat ini seluruh bank
syariah masih mempergunakan revenue sharing baik dalam berbagi hasil bank
syariah sebagai pengelola dana dengan pemodal (penghimpunan dana) maupun bank
syariah sebagai pemodal kepada nasabah debitur (pengelolaan dana dengan prinsip
mudharabah dan musyarakah).
1.
Prinsip
Bagi Hasil (Revenue Sharing)
Sesuai
ketetuan dalam fatwa bahwa yang dibagi dalam prinsip mudharabah adalah hasil
usaha pengelolaan dana mudharabah tersebut, dalam istilah akuntansi sering
dikenal dengan laba kotor (gross profit), karena dalam prinsip mudharabah modal
mudharabah tidak diperkenankan untuk dibagi, penjualan terkandung modal
mudharabah, sehingga tidak diperkenankan melakukan pembagian hasil usaha
mudharabah dari penjualan (omzet). Sedangkan prinsip Profit Sharing hasil usaha
yang dibagi merupakan pendapatan hasil usaha bersih.
2.
Prinsip
Bagi Untung (Profit Sharing)
Saat
ini bank syariah belum ada yang mempergunakan perhitungan pembagian hasil
usahanya mempergunakan prinsip profit sharing. Dalam prinsip profit sharing
pendapatan hasil usaha yang dibagi merupakan pendapatan bersih (net profit) ,
yaitu laba kotor dikurangi dengan beban-beban yang berkaitan dengan pengelolaan
dana mudharabah. Salah satu kendala dalam prinsip profit sharing adalah
penentuan beban-beban yang diperhitungkan dalam mudharabah secara jujur,
transparan dan obyektif. Jika bank syariah akan menerapkan prinsip profit
sharing harus dibuat dua laporan yaitu
1.
laporan yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah, yaitu bank sebagai pengelola
2.
laporan yang berkaitan dengan bank syariah sebagai entitas syariah yang mengelola dana dan kegiatan lainnya.
B. Tahapan
perhitungan pembagian hasil usaha bank syariah
Langkah-langkah distrubusi hasil
usaha dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
Pendapatan yang akan didistribusi atau dibagi dengan pemilik dana (pemodal / investor) adalah pendapatan yang
diperoleh dari pengelolaan dana yang
disebut dengan “pendapatan usaha utama”, yaitu pendapatan dari jual beli (keuntungan murabahah, keuntungan salam, dan keuntungan istishna),
pendapatan ujroh (pendapatan
neto Ijarah, Ijarah Muntahiya Bittamlik, Multijasa) dan pendapatan bagi hasil (pendapatan bagi hasil
mudharabah dan musyarkah) dan
pendapatan pengelolaan dana lainnya (pendapatan sertifikat investasi mudharabah antar bank syariah / SIMA, pendapatan bonus sertifikat Wadiah Bank
Indonesia)
2.
Pendapatan Usaha Utama sebagaimana dalam butir 1 diatas, harus dapat dipisahkan :
a.
Pendapatan Akrual
Pendapatan dari hasil pengelolaan usaha utama,
yang dilakukan hanya dalam pengakuan saja, tidak diikuti dengan aliran kas
(belum diterima). Pengakuan pendapatan ini dilakukan dengan tujuan untuk
memberikan gambaran yang lengkap kepada pengguna laporan keuntungan bank syariah.Pendapatan
akrual hanya untuk kepentingan laporan keuangan dan tidak boleh dibagikan
kepada pihak ketiga / pemilik dana
b.
Pendapatan nyata-nyata diterima (cash basis)
Pendapatan yang nyata-nyata diterima atau
cash basis merupakan pendapatan pengelolaan usaha utama bank syariah yang
nyata-nyata diterima, baik akibat dari pendapatan yang diterima saat ini atau akibat
dari aliran kas dari pendapatan yang pengakuannya dilakukan sebelumnya dan
kasnya baru diterima saat ini.
Sesuai ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional
nomor 14/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga
Keuangan diatur bahwa
Bank Syariah boleh menggunakan sistem Accrual Basis maupun Cash
Basis dalam administrasi keuangan. Dilihat dari segi kemaslahatan (alashlah),
dalam pencatatan sebaiknya digunakan sistem Accrual Basis; akan tetapi, dalam
distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan atas dasar penerimaan yang
benar-benar terjadi (Cash Basis).
Jadi pendapatan yang
diperkenankan untuk dibagi dengan pemilik dana adalah pendapatan dari
pengelolaan usaha utama yang nyata-nyata diterima.
3.
Langkah berikutnya dari pendapatan yang nyata-nyata diterima (cash basis) dipisahkan pendapatan menjadi
pendapatan yang sumber
dananya dari pihak ketiga dan sisanya merupakan pendapatan cash basis dari sumber dana lainnya. Pemisahan tersebut dilakukan karena pendapatan dari pemilik
dana (khususnya sumber dana mudharabah) sangat
tergantung pada pendapatan
bank syariah. Oleh karena itu dalam usaha bank syariah (jual beli, Ijarah dan bagi hasil) hendaknya dibiayai dari modal pemodal eksternal dulu. Perlu diingat
bahwa sebagian dari pendapatan
usaha utama bank syariah merupakan haknya pemodal eksternal (dana pihak ketiga).
4.
Sesuai prisipnya pemodal eksternal (dana pihak ketiga) dibedakan sumber dana dengan prinsip wadiah
(giro wadiah dan tabungan
wadiah) dan sumber dana yang mempergunakan prinsip mudharabah (tabungan mudharabah dan deposito mudharabah). Pemisahan ini dilakukan karena pada
prinsipnya hanya pendapatan sumber
dana yang mempergunakan prinsip mudharabah
saja yang akan dibagi antara pemilik dana (shahibil mal) dengan pengelola dana (mudharib). Sedangkan
pendapatan dari sumber dana yang
mempergunakan prinsip wadiah (wadiah yad dhamanah) merupakan pendapatan bank syariah seluruhnya. Sumber dana dengan prinsip wadiah perlu
diketahui berapa pendapatannya
dapat dipergunakan sebagai pertimbangan dalam memberikan bonus kepada pemodal (penitip). Jika bank syariah memberikan
bonus diharapkan tidak melebihi dari pendapatan wadiah yang diperoleh, supaya
tidak ada pendapatan lain yang dialokasikan untuk bonus yang mengakibatnya laba
rugi bank syariah berkurang.
5.
Pada prinsipnya hanya pendapatan sumber dana dengan prinsip mudharabah yang memperolah bagi hasil, atau
sumber dana mudharabah yang merupakan
komponen bagi hasil. Tetapi untuk
kepentingan analisa dan kepentingan lain seperti laporan Bank Indonesia, sumber dana mudharabah
dipisahkan sesuai produk
masing-masing misalnya tabungan mudharabah, deposito mudharabah jangka waktu satu bulan, deposito
mudharabah jangka waktu 3 bulan dan
sebagainya (selanjutnya disebut dengan kelompok dana). Pemisahan seperti ini dilakukan untuk mengetahui return masing-masing produk dan
perhitungan bagi hasil
individu.
6.
Pendapatan kelompok dana merupakan pendapatan milik bersama antara pemilik modal (shahibul maal)
dengan pengelola (mudharib).
Oleh karena itu perlu dipisahkan pendapatan milik sekelompok dana (misalnya sekelompok penabung tabungan mudharabah). Pendapatan sekelompok pemodal /
dana ini tidak diperkenankan untuk
dikurangi, karena ini adalah hak orang lain. Pendapatan sekelompok dana ini merupakan pendapatan milik semua pemodal individu yang tergabung dalam
kelompok dana tersebut.
7.
Dari pendapatan sekelompok dana tersebut dibagikan kepada masing-masing pemodal individu. Untuk keperluan
perhitungan pada masing-masing pemodal
individu dapat dituangkan dalam bentuk
prosentase return (kesetaraan return) atau hasil investasi setiap seribu rupiah. Prosentase return atau
hasil investasi per seribu
ini dari bulan ke bulan berubah-ubah karena dipengaruhi pendapatan yang diterima oleh bank syariah yang
berubah-ubah. Jadi bagi hasi atau
pendapatan individu ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan sekelompok dana, pendapatan sekelompok dana dipengaruhi oleh pendapatan yang dibagi,
pendapatan yang dibagi
dipengaruhi oleh pembayaran angsuran, pembayaran angsuran dipengaruhi oleh kualitas pengelolaan dana dst. Hal inilah kenapa prosentase return bagi hasil tidak
diharamkan.
TEKNIK BAGI HASIL DENGAN PRINSIP MUDHARABAH
TEKNIK
BAGI HASIL DENGAN PRINSIP MUDHARABAH
A. Pengertian
dan Rukun Mudharabah
Istilah “mudharabah” merupakan istilah yang
paling banyak digunakan oleh bank-Bank Islam. Prinsip ini juga dikenal sebagai
“qiradh” atau “muqaradah”. Mudharabah
adalah perjanjian atas suatu jenis perkongsian, dimana pihak pertama (shahib
al’mal) menyediakan dana, dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas
pengelolaan usaha. Hasil usaha dibagikan sesuai dengan nisbah (porsi bagi
hasil) yang telah disepakati bersama secara awal, maka kalau rugi shahib al’mal
akan kehilangan sebagian imbalan dari kerja keras dan managerial skil selama
proyek berlangsung.
Tujuan akad
mudharabah adalah supaya ada kerjasama kemitraan antara pemilik harta (modal)
yang tidak ada pengalaman dalam perniagaan / perusahaan atau tidak ada peluang
untuk berusaha sendiri dalam lapangan perniagaan, perindustrian dan sebagainya dengan
orang berpengalaman di bidang tersebut tapi tidak punya modal. Ini merupakan
suatu langkah untuk menghindari penyia-nyiaan modal pemilik harta dan
menyia-nyiakan keahlian tenaga ahli yang tidak mempunyai modal untuk
memanfaatkan keahlian mereka.
Dalam transaksi
dengan prinsip mudharabah harus dipenuhi
rukun mudharabah yaitu:
1. Shahibul maal / Rabulmal (pemilik dana / nasabah)
2. Mudharib (pengelola dana/ pengusaha / bank)
3. Amal ( Usaha / pekerjaan)
4. Ijab Qabul
Dilihat dari segi
kuasa yang diberikan kepada pengusaha, mudharabah terbagi menjadi 2 jenis,
yaitu:
1.
Mudharabah Muthlaqah, yaitu pihak pengusaha “diberi kuasa penuh untuk menjalankan
proyek tanpa larangan / gangguan apapun” urusan yang berkaitan dengan proyek
itu dan tidak terikat dengan waktu, tempat, jenis, perusahaan dan pelanggan. Mudharabah
Mutlaqah ini pada usaha perbankan syariah diaplikasikan pada tabungan, dan
deposito. Mudharabah Mutlaqah dalam PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah
diterjemahkan menjadi Investasi Tidak Terikat dan dalam PSAK syariah yang baru
disempurnakan menjadi Dana Syirkah Temporer.
2.
Mudharabah Muqaidah /
Muqayyadah (Investasi Terikat) yaitu pemilik
dana (shahibul maal) membatasi / memberi syarat kepada mudharib dalam
pengelolaan dana seperti misalnya
a.
hanya untuk melakukan
mudharabah bidang tertentu, cara, waktu dan tempat yang tertentu saja,
b.
Bank dilarang untuk
investasi dananya pada transaksi penjualan cicilan, tanpa penjamin atau tanpa
jaminan.
c.
Bank diharuskan melakukan
investasi sendiri (tidak melalui pihak ketiga).
B. Karakteristik
Mudharabah
Beberapa karakater
mudharabah adalah sebaga berikut:
1. Kedua pihak yang mengadakan
kontrak (pemilik dana dan Mudharib) akan menentukan kapasitas baik sebagai
nasabah maupun pemilik.
2. Modal adalah sejumlah uang
pemilik dana diberikan kepada Mudharib untuk investasikan (dikelola) dalam kegiatan
usaha Mudharabah.
3.
Keuntungan adalah jumlah
yang melebihi jumlah modal dan merupakan tujuan Mudharabah.
4. Jenis Usaha/Pekerjaan
diharapkan mewakili/menggambarkan adanya kontribusi Mudharib dalam usahanya
untuk mengembalikan / membayar modal kepada penyedia dana.
5. Pembatasan Masa / Periode
Pembiayaan Mudharabah, sebagian Fuqaha membolehkan untuk membatasi waktu dalam pembiayaan
Mudharabah untuk selama periode tertentu, namun sebagian lainn melarangnya
karena hal itu menjadi tidak penting apabila dalam perjanjian tersebut
dinyatakan bahwa masing-masing berhak untuk membatalkan perjanjian kapan saja.
6.
Garansi dalam Mudharabah
untuk menunjukkan adanya tanggung jawab Mudharib dalam mengembalikan modal
kepada pemilik dana.
C. Aplikasi
Prinsip Mudharabah
1. Tabungan
Mudharabah
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia
nomor 10/ 31 /DPbS tanggal 7 Oktober 2008, perihal Produk Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah dijelaskan Tabungan Mudharabah sebagai berikut:
aDefinisi
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya
hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak
dapat ditarik dengan cek/bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan
dengan itu.
b.
Akad Mudharabah
Transaksi penanaman dana dari pemilik
dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan
usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua
belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya
c.
Fitur Dan Mekanisme
Tabungan atas dasar akad mudharabah:
·
Bank bertindak sebagai
pengelola dana (mudharib) dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul
maal);
·
Pembagian keuntungan
dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;
·
Penarikan dana oleh nasabah
hanya dapat dilakukan sesuai waktu yang disepakati;
·
Bank dapat membebankan
kepada nasabah biaya administrasi berupa biaya-biaya yang terkait langsung
dengan biaya pengelolaan rekening antara lain biaya meterai, cetak laporan
transaksi dan saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening; dan
·
Bank tidak diperbolehkan
mengurangi bagian keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah yang
bersangkutan.
Tabungan ini
dikelola dengan prinsip “Mudharabah Mutlaqah” karena pengelolaan dana investasi
tabungan ini sepenuhnya diserahkan kepada mudharib.
Perbandingan
tabungan mudharabah dan tabungan wadi`ah adalah
No
|
|
Tabungan Mudharabah
|
Tabungan wadi`ah
|
1.
|
Sifat dana
|
Investasi
|
Titipan
|
2.
|
Penarikan
|
Penarikan Hanya dapat dilakukanpada periode
/ waktutententu
|
Dapat dilakukan
sewaktu-waktu
|
3.
|
Insentif
|
Bagi Hasil
|
Bonus
|
4.
|
Pengembalian dana
|
Tidak dijamin
dikembalikan semua
|
Dijamin dikembalikan
semua
|
Tabel 3-1 : perbandingan wadiah dan mudharabah
Perhitungan bagi
hasil tabungan dilakukan berdasarkan besarnya dana investasi rata-rata selama
satu periode perhitungan bagi hasil, dimana dana rata-rata tersebut dihitung
dengan menjumlahkan saldo harian setiap tanggal dibagi dengan hari periode
perhitungan bagi hasil. Periode perhitungan bagi hasil tersebut tidak harus
sama dengan jumlah hari bulan yang bersangkutan, jumlah hari dalam periode perhitungan
bagi hasil dihitung mulai tanggal awal periode (satu hari setelah tanggal tutup
buku / perhitungan bagi hasil yang lalu) sampai dengan tanggal tutup buku atau
perhitungan bagi hasil.
2. Deposito Mudharabah
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia
nomor 10/ 31 /DPbS tanggal 7 Oktober 2008, perihal: Produk Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah dijelaskan tentang Deposito Mudharabah sebagai berikut:
a. Definisi
Deposito adalah simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian
antara nasabah dengan bank.
b. Akad Mudharabah
Transaksi penanaman dana dari pemilik
dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan
usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah
pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
c.
Fitur Dan Mekanisme
·
Bank bertindak sebagai
pengelola dana (mudharib) dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul
maal);
·
Pengelolaan dana oleh Bank
dapat dilakukan sesuai batasan-batasan yang ditetapkan oleh pemilik dana
(mudharabah muqayyadah) atau dilakukan dengan tanpa batasan-batasan dari
pemilik dana (mudharabah mutlaqah);
·
Dalam Akad Mudharabah
Muqayyadah harus dinyatakan secara
jelas syarat-syarat dan batasan tertentu yang ditentukan oleh nasabah;
·
Pembagian keuntungan
dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;
·
Penarikan dana oleh nasabah
hanya dapat dilakukan sesuai waktu yang disepakati;
·
Bank dapat membebankan
kepada nasabah biaya administrasi berupa biaya-biaya yang terkait langsung
dengan biaya pengelolaan rekening antara lain biaya meterai, cetak laporan
transaksi dan saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening; dan
·
Bank tidak diperbolehkan
mengurangi bagian keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan.
Deposito ini
dijalankan dengan prinsip “Mudharabah Mutlaqah”, karena pengelolaan dana
deposito sepenuhnya menjadi tanggung jawab mudharib (bank)
Perhitungan bagi
hasil kepada pemilik dana deposito mudharabah dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu :
1.
dilakukan setiap ulang tanggal pembukaan
deposito mudharabah dan
2.
dilakukan setiap akhir bulan
atau awal bulan berikutnya tanpa memperhatikan tanggal pembukaan deposito
mudharabah tersebut.
1.
Perhitungan
bagi hasil deposito mudharabah dilakukan setiap ulang tanggal pembukaan
deposito.
Pada dasarnya perhitungan bagi hasil
deposito dilakukan dengan berdasarkan dari perhitungan distribusi hasil usaha
pada bulan yang lalu, sehingga dalam hal perhitungannya mempergunakan indikasi
rate atau return atau equivalent rate, maka diipergunakan hasil perhitungan
pada bulan sebelumnya. Untuk memberi gambaran perhitungan bagi hasil yang
dibayar setiap ulang tanggal dalam diberikan contoh
misalnya:
seseorang
pada tanggal 25 April menginvestasikan pada bank syariah dalam bentuk deposito
mudharabah untuk jangka waktu 3 bulan, jatuh tempo deposito mudharabahnya pada
tanggal 25 Juli.
Apabila
dipergunakan cara perhitungan dan pembayaran bagi hasil setiap ulang tanggal,
maka bagi hasil deposito mudharabah tersebut dibayar oleh bank syariah setiap
tanggal 25 setiap bulannya dan mempergunakan indikasi rate bulan sebelumnya.
a.
Untuk pembayaran bagi
hasil pada tanggal 25 Mei, dilakukan untuk periode bagi hasil 25 April sampai
25 Mei dan dihitung dengan indikasi rate berdasarkan perhitungan hasil usaha
(profit distribution) akhir bulan April (misalnya untuk kelompok dana deposito
mudharabah 3 bulan adalah 10%). Apabila ditelaah lebih rinci atas perhitungan
bagi hasil deposito tersebut, pembagian hasil usaha yang menghasilkan indikasi
rate sebesar 10% hanya periode 25 sampai tutup buku (30 April), sedangkan untuk
periode 1 Mei sampai 25 Mei belum diketahui besarnya return bagi hasil, karena
pembagian hasil usaha bulan Mei baru dilakukan pada akhir bulan Mei (tutup buku
bulan Mei).
b.
Pembayaran bagi hasil pada
tanggal 25 Juni, dilakukan untuk periode 25 Mei sampai 25 Juni. Perhitungan
bagi hasil tersebut dilakukan dengan indikasi rate atas distribusi hasil usaha
yang dilakukan pada akhir bulan Mei (misalnya untuk kelompok dana deposito
mudharabah 3 bulan adalah 6%). Permasalahan yang sama timbul juga seperti
perhitungan dan pembayaran tanggal 25 Mei, indikasi rate yang dibayarkan
sebesar 6% tersebut untuk periode tanggal 25 Mei sampai tanggal 31 Mei(tutup
buku bulan Mei), sedangkan untuk periode tanggal 1 Juni sampai 25 Juni belum
diketahui indikasi ratenya.
Atas permasalahan ini
Bank Syariah melakukan salah satu langkah-langkah dibawah:
a.
Melakukan koreksi terhadap
pembayaran bagi hasil yang dilakukan pada tanggal 25 Mei, yaitu untuk periode 1
Mei sampai 25 Mei yang sebelumnya dibayar dengan indikasi rate 10% (indikasi
rate April), dihitung kembali dengan indikasi rate 6% (indikasi rate Mei)
b.
Tidak melakukan koreksi,
artinya perhitungan dan pembayaran bagi hasil sesuai yang dilakukan.
c.
Pembayaran bagi hasil yang
dilakukan pada tanggal 25 Juli (pada saat jatuh tempo deposito mudharabah),
pembayaran dilakukan untuk periode 25 Juni sampai 25 Juli, perhitungan bagi
hasil dilakukan dengan indikasi rate atas distribusi hasil usaha yang dilakukan
pada akhir bulan Juni (misalnya untuk kelompok dana deposito mudharabah 3 bulan
adalah 8%). Permasalahan yang sama timbul juga seperti perhitungan bagi hasil
yang dibayarkan pada tanggal 25 Juni, indikasi rate yang dibayarkan sebesar 8%
tersebut untuk periode tanggal 25 Juni sampai tanggal 31 Juni (tutup buku bulan
Juni), sedangkan untuk periode tanggal 1 Juli sampai 25 Juli belum diketahui
indikasi ratenya. Untuk mengatasi hal tersebut bank syariah melakukan langkah-langkah
sama dengan butir 2 diatas.
Walaupun pada bulan berikutnya
dilakukan koreksi dengan indikasi rate yang benar-benar dihasilkan, namun hal
ini tidak menyelesaikan permasalahan pada sat deposito tersebut jatuh tempo,
bank syariah membayarkan pokok deposito ditambah dengan bagi hasil yang
diperhitungkan dengan indikasi rate bulan sebelumnya dan hubungan bank syariah
dengan pemilik dana deposito mudharabah telah selesai. Sehingga pada akhir
deposito pada saat jatuh tempo bank syariah masih membayarkan bagi hasil dari
indikasi yang diketahui.
Apabila digambarkan pembayaran bagi
hasil deposito mudharabah yang dilakukan setiap ulang tanggal pembukaan
deposito, sebagai berikut:
Pembayaran
|
Periode
|
Indikasi rate
|
Koreksi
|
25 Mei
|
25 April - 30 April
|
10 %
|
|
|
01 Mei – 25 Mei
|
10 %
|
6 %
|
25 Juni
|
26 Mei - 30 Mei
|
6 %
|
|
|
01 Juni – 25 Juni
|
6 %
|
8 %
|
25 Juli
|
26 Juni – 30 Juni
|
8 %
|
|
|
01 Juli – 25 Juli
|
8 %
|
Belum diketahui dan tidak dikoreksi
|
Tabel 3-2 : bagi hasil ulang tanggal
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa untuk bank syariah yang membayarkan
bagi hasil deposito mudharabah dilakukan setiap ulang tanggal pembukaan
deposito, bank syariah membayarkan bagi hasil dari pendapatan yang belum
diterima. Sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 14/DSN-MUI/IX/200
tanggal 16 September 2000 tentang sistem distribusi hasil usaha, pendapatan
yang dibagikan adalah pendapatan yang nyata-nyata diterima (cash basis).
2. Perhitungan
bagi hasil deposito mudharabah dilakukan setiap setiap akhir bulan (sama dengan
tutup buku bank syariah) atau awal bulan berikutnya
Perhitungan bagi
hasil dilakukan sampai dengan akhir bulan ini berbeda dengan perhitungan bagi
hasil setiap ulang tanggal. Dalam perhitungan ini hanya dibayarkan bagi hasil
untuk periode tanggal pembukaan deposito sampai tanggal tutup buku saja.
Perhitungan
bagi hasil untuk bulan April, dilakukan untuk periode 25 April sampai tanggal
30 April (tutup buku April) dengan indikasi rate sebesar 10% (return yang
dihasilkan dalam perhitungan pembagian hasil usaha tutup buku bulan april).
Begitu juga perhitungan bagi hasil untuk bulan Mei, dilakukan untuk periode 1
Mei sampai 31 Mei dengan indikasi rate sebesar 6% (return perhitungan tutup
buku bulan mei)
Pada saat deposito
mudharabah jatuh tempo pada tanggal 25 Juli oleh bank syariah hanya
dikembalikan / dibayar sebesar pokok deposito mudharabah nya saja, sedangkan
bagi hasil untuk periode 1 Juli sampai 25 Juli, baru akan diperhitungkan dan
dibayarkan setelah perhitungan pembagian hasil usaha tutup buku bulan Juli.
Pada saat jatuh tempo deosito mudharabah bank syariah belum bisa membayar bagi
hasil karena pada saat tersebut bank syariah belum melakukan perhitungan
distribusi hasil usaha sehingga belum diketahui besarnya bagi hasil yang harus
dibayarkan. Besarnya bagi hasil baru dapat diketahui setelah melakukan
perhitungan distribusi hasil usaha pada akhir bulan yang bersangkutan.
Apabila
digambarkan pembayaran bagi hasil deposito mudharabah yang dilakukan setiap
akhir bulan atau awal bulan berikutnya adalah sebagai berikut:
Periode
|
Indikasi Rate
|
Pembayaran
|
25 April – 30 April
|
10 %
|
Tutup buku April / Awal Mei
|
1Mei – 30 Mei
|
6 %
|
Tutup buku Mei / Awal Juni
|
26 Juni– 30 Juni
|
8 %
|
Tutup buku Juni / awal Juli
|
01 Juli – 25 Juli
|
9 % (missal)
|
Pada sat jatuh tempo belum
dibayar, baru dibayar pada tutup buku
Juli atau awal Agustus
|
Tabel 3-3 : bagi hasil akhir bulan
Dari tabel ini dapat
dilihat bahwa bank syariah yang membayar bagi hasil setiap akhir bulan (sama
dengan tutup buku) atau awal bulan berikutnya, membayar bagi hasil sesuai
dengan pendapatan yang diterima
Pembayaran bagi
hasil deposito mudharabah setiap akhir bulan (tutup buku) atau awal bulan
berikutnya tersebut telah dicontohkan pada perhitungan bagi hasil untuk
Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (SIMA) yang diatur oleh Bank
Indonesia dan dalam cara pembayaran ini tidak ada koreksi karena perbedaan
indikasi rate atau return deposito mudharabah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar