Selasa, 09 Juni 2015

PERBEDAAN PRINSIP EKONOMI SYARIAH DAN TRANSAKSI SYARIAH



PERBEDAAN PRINSIP EKONOMI SYARIAH
DAN TRANSAKSI SYARIAH

Transaksi syariah berlandaskan pada paradigma bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan sebagai amanah (kepercayaan ilahi) dan sarana kebahagiaan hidup bagi seluruh umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hakiki secara material dan spiritual (falah). Paradigma dasar ini menekankan bahwa setiap aktifitas umat manusia memiliki akuntabilitas dan nilai ilahiah yang menempatkan perangkat syariah dan akhlak sebagai parameter baik dan buruk, benar dan salahnya aktifitas usaha.
Transaksi Syariah merupakan ketentuan hukum islam yang mengatur aktifitas umat manusia yang berisi perintah dan larangan, baik yang menyangkut hubungan interaksi vertikal dengan Tuhan maupun interaksi horizontal dengan sesama makhluk. Prinsip syariah yang berlaku umum dalam kegiatan muamalah mengikat secara hukum bagi semua pelaku dan pemangku kepentingan entitas yang melakukan transaksi syariah.
Sedangkan Prinsip – prinsip Ekonomi Syariah merupakan asas dari Transaksi Syariah. Adapun pembagian asas dari Transaksi Syariah tersebut adalah :
1. Prinsip persaudaraan (ukhuwah)
Esensinya merupakan nilai universal yang menata interaksi sosial dan harmonisasi kepentingan para pihak untuk kemanfaatan secara umum dengan semangat saling tolong-menolong. Transaksi syariah menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat (sharing economics) sehingga seseorang tidak boleh mendapat keuntungan di atas kerugian orang lain. Ukhuwah dalam transaksi syariah berdasarkan prinsip saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), saling menolong (ta’awun), saling menjamin (takaful), saling bersinergi dan beraliansi (tahaluf).
2. Prinsip keadilan (‘adalah)
Esensinya menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya. Implementasi keadilan dalam kegiatan usaha berupa aturan prinsip muamalah yang melarang adanya unsur: (a) riba (unsur bunga dalam segala bentuk dan jenisnya, baik riba nasiah maupun fadhl), (b) kezaliman (unsur yang merugikan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan), (c) maysir (unsur judi dan sikap spekulatif ), (d) gharar (unsur ketidakjelasan), dan (e) haram (unsur haram baik dalam barang maupun jasa serta aktivitas operasional yang terkait).
Esensi riba adalah setiap tambahan pada pokok piutang yang dipersyaratkan dalam transaksi pinjam-meminjam serta derivasinya dan transaksi tidak tunai lainnya, dan setiap tambahan yang dipersyaratkan dalam transaksi pertukaran antarbarang-barang ribawi termasuk pertukaran uang (money exchange) yang sejenis secara tunai maupun tangguh dan yang tidak sejenis secara tidak tunai. Esensi kezaliman (dzulm) adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, memberikan sesuatu tidak sesuai ukuran, kualitas dan temponya, mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memperlakukan sesuatu tidak sesuai posisinya.
3. Prinsip kemaslahatan (mashlahah)
Esensinya merupakan segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan kolektif. Kemaslahatan yang diakui harus memenuhi dua unsur yakni kepatuhan syariah (halal) serta bermanfaat dan membawa kebaikan (thayib) dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak menimbulkan kemudaratan. Transaksi syariah yang dianggap bermaslahat harus memenuhi secara keseluruhan unsur-unsur yang menjadi tujuan ketetapan syariah (maqasid syariah) yaitu berupa pemeliharaan terhadap: (a) akidah, keimanan dan ketakwaan (dien), (b) intelek (‘aql), (c) keturunan (nasl), (d) jiwa dan keselamatan (nafs), dan (e) harta benda (mal).
4. Prinsip keseimbangan (tawazun)
Esensinya meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial, dan keseimbangan aspek pemanfaatan dan pelestarian. Transaksi syariah tidak hanya menekankan pada maksimalisasi keuntungan perusahaan semata untuk kepentingan pemilik (shareholder). Sehingga manfaat yang didapatkan tidak hanya difokuskan pada pemegang saham, akan tetapi pada semua pihak yang dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi.
5. Prinsip universalisme (syumuliyah)
Esensinya dapat dilakukan oleh, dengan, dan untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin). Transaksi syariah terikat dengan nilai-nilai etis meliputi aktivitas sektor keuangan dan sektor riil yang dilakukan secara koheren tanpa dikotomi sehingga keberadaan dan nilai uang merupakan cerminan aktivitas investasi dan perdagangan.
Implementasi trasaksi yang sesuai dengan pradigma dan asas transaksi syariah harus memenuhi karateristik dan persyaratan antara lain:
  1. Karateristik hanya dilakukan berdasarkan prinsip saling paham dan saling rida,
  2. Prinsip kebebasan transaksi diakui sepanjang objeknya hal dan baik (toyyib),
  3. Uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai komoditas,
  4. Tidak mengandung unsur riba,
  5. Tidak mengandung unsure kezaliman,
  6. Tidak mengandung unsur maysir,
  7. Tidak mengandung unsur gharar,
  8. Tidak mengandung unsur haram,
  9. Tidak menganut prinsip nilai waktu dari uang (time value of money) karena keuntungan yang didapat dalam kegiatan usaha terkait dengan resiko yang melekat pada kegiatan usaha tersebut sesuai dengan prinsip al-ghunmu bil ghurmi (no gain without accompanying risk),
  10. Transaksi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang jelas dan benar serta untuk keuntungan semua pihak tanpa merugikan orang lain sehingga tidak diperkenankan menggunakan standar ganda harga untuk satu akad serta tidak menggunakan dua transaksi bersamaan yang berkaitan(ta’alluq) dalam satu akad,
  11. Tidak ada distori harga melalui rekayasa permintaan (najasy), maupun melalui rekayasa penawaran, dan
  12. Tidak mengandung unsur kolusi dengan suap menyuap(risywah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar